Restitusi PPN Batu Bara Capai Rp25 Triliun per Tahun, Menkeu Ungkap Beban Baru Akibat UU Cipta Kerja
Riau12.com-JAKARTA – Kebijakan fiskal dalam UU Cipta Kerja kembali memicu perhatian publik setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap dampak besar yang selama ini nyaris luput dari sorotan. Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada industri batu bara mencapai sekitar Rp25 triliun setiap tahun, sehingga justru menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sejak aturan tersebut diberlakukan pada 2020.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (8/12/2025), Purbaya menjelaskan bahwa perubahan status batu bara dari non-barang kena pajak menjadi barang kena pajak membuka peluang baru bagi pelaku industri untuk mengajukan pengembalian pajak dalam jumlah besar.
“Restitusi itu sekitar Rp25 triliun per tahun,” ujarnya di hadapan anggota dewan.
Lonjakan restitusi tersebut membuat kontribusi fiskal sektor batu bara, yang sebelumnya menjadi salah satu penopang penerimaan negara, berbalik menjadi negatif. Untuk menutup kerugian yang muncul setiap tahun, pemerintah memperkenalkan kebijakan bea keluar sebagai langkah korektif.
“Ini bukan untuk melemahkan industri, tapi untuk menutup kerugian negara sejak aturan 2020,” tegas Purbaya. Ia menambahkan bahwa daya saing batu bara di pasar global tetap aman karena sebelum 2020 industri mampu berjalan tanpa restitusi dalam skala besar.
UU Cipta Kerja pada awalnya diperkenalkan Presiden Joko Widodo sebagai langkah besar reformasi regulasi. Pemerintah mempromosikan undang-undang ini sebagai instrumen percepatan perizinan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan investasi. Dalam berbagai forum internasional, termasuk World Economic Forum 2020, UU Cipta Kerja dipresentasikan sebagai pijakan pertumbuhan ekonomi baru, terutama untuk sektor digital dan energi hijau.
Namun kondisi fiskal yang dipaparkan Menkeu mengungkap adanya celah kebijakan yang tidak terprediksi sebelumnya. Skema perpajakan yang semula dibuat untuk memberi kemudahan justru menimbulkan konsekuensi besar bagi negara. Restitusi dalam jumlah masif kepada sektor yang memiliki konsentrasi pelaku usaha tinggi seperti batu bara berubah menjadi pukulan yang menggerus penerimaan negara.
UU Cipta Kerja sebelumnya juga telah menghadapi penolakan publik hingga berujung pada putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan perbaikan karena dinilai cacat secara formil. Temuan terbaru dari Kementerian Keuangan memperkuat desakan agar regulasi tersebut dievaluasi menyeluruh, terutama pada bagian yang berpotensi menekan APBN.
Dengan kerugian tahunan yang diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah, pemerintah kini perlu memastikan kebijakan fiskal berjalan selaras dengan kebutuhan pembangunan nasional. Bea keluar batu bara menjadi langkah cepat untuk menahan kerugian, namun peninjauan ulang terhadap skema pajak dalam UU Cipta Kerja menjadi agenda penting yang tidak bisa ditunda.
Pertanyaan publik kini mengarah pada bagaimana sebuah undang-undang yang dirancang untuk mendorong investasi justru berpotensi melemahkan arus penerimaan negara. Pemerintah diharapkan mampu merumuskan kebijakan lanjutan yang lebih presisi, tidak membuka ruang restitusi tak terkendali, serta tetap menjaga stabilitas fiskal nasional.
Komentar Anda :