Riau12.com-PEKANBARU – Provinsi Riau kembali menjadi pusat perhatian nasional terkait persoalan keterlanjuran pembangunan kebun kelapa sawit di kawasan hutan. Ekspansi perkebunan yang masuk hingga wilayah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dinilai sebagai salah satu kasus paling kompleks di Indonesia, karena melibatkan perlindungan habitat gajah Sumatera sekaligus keberadaan ribuan warga yang telah lama bermukim dan menggantungkan hidup di kawasan tersebut.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menyebut Riau bersama Kalimantan Tengah sebagai dua provinsi dengan persoalan sawit di kawasan hutan yang paling rumit. Meski demikian, ia menilai keberhasilan penyelesaian masalah di Riau dapat menjadi pintu masuk perbaikan tata kelola sawit secara nasional.
“Dua provinsi yang sangat problematik soal keterlanjuran pembangunan perkebunan sawit dalam kawasan hutan itu Riau dan Kalimantan Tengah. Tapi kalau masalah ini bisa dilewati, sawit bisa jauh lebih baik,” ujar Surambo dalam sebuah webinar, Senin (15/12/2025).
Di Riau, tekanan terbesar terjadi di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. Kawasan konservasi ini merupakan habitat penting gajah Sumatera sebagai spesies kunci ekosistem, namun di saat yang sama juga telah lama dihuni ribuan warga yang mengelola kebun sawit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tumpang tindih kepentingan inilah yang membuat penanganan persoalan TNTN menjadi sangat sensitif dan kompleks.
Surambo menegaskan bahwa pendekatan penggusuran bukanlah solusi yang tepat. Menurutnya, relokasi paksa masyarakat berpotensi memicu persoalan sosial baru dan bahkan dapat berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.
“Kalau sampai relokasi besar-besaran, itu bisa terjadi pelanggaran HAM besar-besaran. Ancaman-ancaman seperti itu tidak produktif dan justru memperkeruh masalah,” jelasnya.
Ia mendorong pendekatan koeksistensi sebagai jalan keluar di Tesso Nilo, yakni membangun kehidupan berdampingan antara manusia dan gajah Sumatera melalui dialog, pengaturan ruang yang adil, serta kebijakan yang berorientasi jangka panjang. Surambo menilai, wilayah jelajah gajah yang terlanjur ditanami sawit perlu dikembalikan secara bertahap menjadi kawasan hutan agar satwa tersebut dapat hidup layak di habitat alaminya.
“Bagaimana gajah bisa hadir tanpa mengganggu orang, dan orang juga bisa hidup di sana tanpa mengganggu gajah. Itu yang harus dicari jalan keluarnya,” paparnya.
Selain itu, petani sawit rakyat di sekitar kawasan hutan juga didorong untuk menerapkan praktik perkebunan sawit berkelanjutan. Upaya ini dinilai penting untuk menekan dampak lingkungan sekaligus menjaga keberlanjutan ekonomi masyarakat. Surambo juga menyarankan perubahan status dan fungsi kawasan hutan Tesso Nilo melalui skema perhutanan sosial sebagai titik temu antara kepentingan konservasi dan kesejahteraan warga.
“Ini sebenarnya cara keluar yang lebih adil, mencari keseimbangan antara perlindungan hutan dan kehidupan masyarakat,” ujarnya.
Sorotan terhadap Riau semakin menguat karena kasus Tesso Nilo dinilai mencerminkan lemahnya tata kelola sawit di kawasan hutan. Jika persoalan ini tidak segera ditangani dengan pendekatan dialog, keberlanjutan, dan keadilan sosial, ancaman terhadap lingkungan, satwa dilindungi, serta kehidupan masyarakat lokal diperkirakan akan terus berlanjut.
Komentar Anda :