Aktivis dan Pemerintah Tegaskan: Penyelamatan Hutan di Indonesia Harus Berbasis Masyarakat Adat, Bukan Jual Beli
Riau12.com-JAKARTA – Media sosial tengah diramaikan ajakan patungan untuk membeli hutan sebagai bentuk respon publik atas maraknya alih fungsi lahan hutan yang diduga memicu bencana banjir dan longsor di Sumatera. Gerakan ini memunculkan diskusi luas mengenai kelestarian hutan, hak masyarakat adat, dan peran negara dalam pengelolaan sumber daya alam.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono, menegaskan bahwa praktik jual beli hutan bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Ia merujuk pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Rafiq juga mengutip UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mempertegas bahwa seluruh kawasan hutan berada di bawah penguasaan negara.
“Ini dasar konstitusional yang menjadi pemahaman hutan bukan milik privat yang bisa diperjualbelikan,” ujar Rafiq. Ia menambahkan bahwa upaya paling realistis untuk pengelolaan berbasis rakyat adalah melalui skema legal seperti Hutan Adat, Hutan Desa, dan Hutan Rakyat, yang mendukung masyarakat lokal sebagai pengelola sah.
Manajer Advokasi Pantau Gambut, Wahyu Perdana, menjelaskan bahwa kepemilikan kawasan hutan secara hukum memang tidak dimungkinkan. Sistem yang berlaku hanya memberikan hak kelola, bukan hak milik. Ia menekankan pentingnya izin restorasi ekosistem sebagai cara bagi masyarakat atau lembaga untuk mengelola hutan dengan tujuan menjaga dan memperbaiki ekosistem.
Wahyu juga menyoroti kondisi hutan di Indonesia yang memprihatinkan. Lebih dari 60 persen kawasan hutan saat ini dikuasai oleh izin konsesi, termasuk konsesi kayu dan perkebunan sawit. Menurutnya, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Agraria serta Tata Ruang harus bertanggung jawab atas masifnya pemberian izin pengelolaan hutan, yang kerap menimbulkan kerusakan ekologis dan konflik lahan.
Legislator PKB, Daniel Johan, menilai ide patungan membeli hutan mencerminkan kekecewaan publik terhadap deforestasi yang terjadi akibat pengelolaan negara dan korporasi. Juru kampanye Greenpeace Southeast Asia-Indonesia menambahkan bahwa gerakan ini menunjukkan kepedulian publik, tetapi hutan seharusnya tidak dilihat sebagai komoditas yang bisa dibeli.
Asep dari Greenpeace menekankan pentingnya pengakuan dan perlindungan hukum atas hak masyarakat adat, karena hutan adat terbukti lebih terjaga ketika hak-hak komunitas lokal diakui. “Penyelamatan hutan harus dimulai dari pengakuan hak-hak masyarakat adat, bukan sekadar kepemilikan baru meski dengan niat baik,” kata Asep. Ia menegaskan bahwa upaya publik akan terbatas tanpa kerangka hukum yang jelas, sehingga percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi krusial.
Menteri Agraria dan Tata Ruang, Nusron Wahid, menanggapi maraknya ajakan patungan beli hutan dengan apresiasi. Namun ia menegaskan bahwa hutan bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan. Nusron mendorong masyarakat untuk fokus pada reboisasi atau penanaman kembali hutan yang rusak dan memastikan akuntabilitas dalam penggalangan dana atau donasi untuk pemulihan kawasan terdampak bencana.
“Kalau mau membangun hutan baru melalui reboisasi, itu dengan senang hati. Tapi jangan sampai niat baik disalahgunakan. Tata kelola dan pertanggungjawaban keuangan harus dijaga,” ujarnya.
Gerakan patungan beli hutan menjadi simbol kepedulian publik terhadap kelestarian alam sekaligus kritik terhadap pemerintah atas lemahnya pengelolaan hutan dan dampak bencana yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan.
Komentar Anda :