Riau12.com-PEKANBARU – Rencana manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru untuk menaikkan pangkat tiga wakil direktur dari Eselon III A menjadi Eselon II B menuai sorotan dari kalangan akademisi. Kebijakan tersebut dinilai perlu dikaji secara cermat agar tidak bertentangan dengan regulasi yang berlaku.
Ahli Perencanaan Pembangunan, Dr Mendra Wijaya, MSi, menilai bahwa perubahan struktur eselon di lingkungan rumah sakit daerah tidak bisa dilakukan secara terburu-buru tanpa merujuk pada aturan yang jelas. Menurutnya, pemerintah daerah harus memastikan kebijakan tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Riau itu menjelaskan bahwa struktur jabatan di rumah sakit daerah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 sebagai perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
“Jika merujuk pada PP Nomor 72 Tahun 2019, eselonisasi Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Tipe B dan Rumah Sakit Khusus Tipe A berada pada level Eselon II A. Sementara dalam PP Nomor 18 Tahun 2016 sebelumnya, direktur rumah sakit merupakan pejabat fungsional yang diberi tugas tambahan,” ujar Mendra kepada GoRiau.com, Jumat (12/12/2025).
Ia menilai, sebelum menetapkan kenaikan eselon jabatan di RSUD Arifin Achmad, pemerintah daerah sebaiknya terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan pemerintah pusat agar kebijakan yang diambil tidak menimbulkan persoalan hukum maupun administratif di kemudian hari.
Menurut Mendra, penyesuaian struktur eselon di rumah sakit daerah sejatinya dapat membawa dampak positif. Di antaranya peningkatan status dan reputasi rumah sakit, serta bertambahnya kewenangan dalam pengelolaan sumber daya dan pengambilan keputusan strategis.
“Eselon II memiliki ruang keputusan yang lebih luas. Hal ini berpotensi memperkuat manajemen rumah sakit dan mendorong peningkatan efektivitas serta efisiensi operasional pelayanan kesehatan,” jelasnya.
Namun demikian, ia juga mengingatkan bahwa perubahan eselon jabatan tidak lepas dari konsekuensi lain, meskipun skalanya tidak terlalu besar. Dampak tersebut antara lain meningkatnya beban kerja dan tanggung jawab, bertambahnya biaya operasional, serta tekanan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan manajerial.
Terkait kekhawatiran munculnya potensi konflik internal akibat posisi direktur dan wakil direktur berada pada level eselon yang hampir setara, Mendra menilai hal tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Menurutnya, secara teknis Eselon II A dan Eselon II B tetap memiliki pembagian kewenangan yang jelas dalam satu institusi.
“Secara teknis, Eselon II A dan II B tetap memiliki porsi kewenangan yang berbeda di dalam satu organisasi. Jadi tidak serta-merta menimbulkan konflik jika tata kelola dan pembagian tugasnya jelas,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa efektivitas manajemen rumah sakit sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan pimpinan daerah terhadap jajaran manajemen rumah sakit. Gubernur, menurutnya, harus memastikan direktur hingga wakil direktur merupakan figur yang benar-benar dipercaya agar koordinasi berjalan baik.
“Mulai dari direktur sampai wakil direktur harus orang yang dipercaya gubernur. Ini penting untuk mencegah miskomunikasi yang dapat berdampak pada terganggunya pelayanan publik,” pungkasnya.
Komentar Anda :