Sifat Malu sebagai Penjaga Fitrah: Teladan Nabi dan Sahabat untuk Umat di Era Godaan Dunia
Riau12.com--Sifat malu merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia sebagai pedoman untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan rasa malu itulah manusia mampu berjalan sesuai fitrahnya dan menjauh dari perbuatan yang melanggar aturan Rabbnya.
Rasulullah SAW pernah bersabda, "Jika kamu tak punya rasa malu, maka berbuatlah sesukamu." Dalam sabdanya yang lain, beliau menegaskan bahwa malu adalah salah satu cabang dari iman. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas iman seseorang sangat berkaitan erat dengan seberapa besar rasa malu yang ia miliki.
Berbeda dengan manusia, hewan tidak dianugerahi sifat malu. Hewan hanya dibekali insting dan nafsu untuk bertahan hidup sesuai kadar kebutuhan yang ditetapkan Allah. Sifat ini menunjukkan bagaimana Allah telah mengatur seluruh makhluk sesuai fitrah masing-masing.
Rasa malu juga menjadi penopang kekuatan batin seorang Muslim. Karena itu, seorang manusia yang beriman tidak dapat dipisahkan dari sifat malu yang menuntunnya menjaga diri dari kemaksiatan. Para sahabat Nabi menjadi teladan betapa tingginya kedudukan sifat malu dalam kehidupan umat Islam.
Utsman bin Affan adalah salah satu sahabat yang paling dikenal dengan sifat malunya. Dalam sebuah kisah, Rasulullah SAW pernah berada dalam keadaan santai dan sebagian tubuhnya terbuka ketika Abu Bakar dan Umar datang. Namun, ketika Utsman memasuki ruangan, Rasulullah segera merapikan pakaiannya. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab bahwa Utsman adalah sosok yang sangat pemalu, bahkan melebihi malunya seorang gadis.
Rasulullah SAW pun kerap memuji keistimewaan Utsman di hadapan para sahabat lainnya. Sifat malu yang dimilikinya menjadi contoh bahwa sikap tersebut bukan kelemahan, melainkan kemuliaan yang dijunjung tinggi dalam Islam.
Kekuatan iman seorang Muslim dapat terlihat dari bagaimana ia menjaga rasa malu terhadap Allah. Seorang Muslim yang benar-benar beriman akan merasa berdosa dan menyesal ketika melanggar perintah-Nya. Ia akan berusaha menjaga diri dari maksiat dan menjalankan syariat sebaik-baiknya sebagai wujud rasa malu kepada Rabbnya.
Sebaliknya, manusia yang tidak lagi memiliki rasa malu akan terjerumus pada perbuatan yang merusak dirinya sendiri. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa siapa yang tidak memiliki malu, ia dipersilakan berbuat sesuka hatinya. Hal ini menggambarkan betapa kehilangan sifat malu sama dengan hilangnya ikatan kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Di tengah derasnya godaan materialisme, banyak manusia yang lupa menjaga fitrah ini. Dunia seakan menjadi tujuan akhir, sementara perintah dan larangan Allah terabaikan. Godaan harta, kekuasaan, dan syahwat menjadi senjata setan untuk menjauhkan manusia dari ketaatan.
Karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk menjaga sifat malu sebagai benteng diri. Malu bukan sekadar sikap, tetapi cermin keimanan dan pelindung dari berbagai godaan yang menjerumuskan. Dengan memelihara rasa malu, manusia menghargai dirinya, menjaga kehormatannya, dan tetap berada di jalan yang diridai Allah.
Komentar Anda :